Blogger Widgets

Selasa, 08 Maret 2016

KONSELING SELF (KONSELF)



A.     PENGANTAR KONSELING SELF
Carl Rogers mengembangkan suatu pendekatan baru, yaitu non-directive therapy­. Pendekatan ini didasari atas anggapan bahwa klienlah yang berhak menentukan tujuan hidupnya, bukan konselor, serta tiap individu bisa berdiri sendiri dan berusaha untuk memecahkan masalahnya sendiri. Menurut Taufik (2009 : 123), teori Rogers terkenal karena lebih banyak menekankan aspek psikologis dari aspek medis.

Teori ini bukanlah suatu teknik, karena menurut Taufik (2009 : 123-124) faktor penting yang akhirnya akan menentukan jalan keluar dari masalah klien adalah klien itu sendiri. Oleh karena itu, terapi ini menjadi lebih terkenal di kalangan psikologi klinis dan konselor psikologi. Selanjutnya metode Rogers tersebar luas di kalangan para profesi bantuan seperti konselor dan pekerja sosial.

B.      TEORI KEPRIBADIAN
Menurut Prayitno (1998 : 60), struktur kepribadian meliputi komponen OLS, yaitu :
1.      Organisme adalah unsur fisiologis dengan semua fungsi fisik dan fungsi psikologisnya.
2.      Lapangan Fenomenal merupakan segala sesuatu yang dialami seseorang, baik yang bersifat eksternal maupun internal, yaitu hal-hal yang dipersepsinya dan yang dianggap penting.
3.      Self adalah bagian dari lapangan fenomenal yang terdeferensiasikan sedikit demi sedikit melalui pengalaman yang disadari maupun tidak.

Dalam teorinya, Rogers lebih menekankan konsep organism dan self. Self pada diri seseorang merupakan konsep diri (self-concept) yang terdiri dari persepsi mengenai kekhasan dari I atau me dan persepsi hubungan antara I atau me dengan orang lain dalam aspek kehidupan. Menurut Taufik (2009 : 126), kecocokan dan ketidakcocokan diantara self dan organism akan menentukan kematangan, penyesuaian diri, dan kesehatan mental seseorang.

Congruence berarti ada kecocokan antara self yang dirasakan pengalaman actual organism.  Sedangkan, incongruence dapat menimbulkan kecemasan, perasaan terancam, mempertahankan diri, berpikiran kaku, dan melakukan cara-cara tidak positif. Menurut Taufik (2009 : 126), perhatian Rogers adalah bagian mana dari self yang dibuat menjadi lebih congruence.

Rogers mengemukakan bahwa teori kepribadian yang berpusat pada klien adalah teori kepribadian yang berpusat pada self disebut dengan the self theory yang dirumuskan dalam 22 pernyataan atau dalil. Mohd. Surya (2003 : 51) menyimpulkan ke 22 dalil tersebut menjadi :
“1. Yang menjadi inti kepribadian –menurut teori kepribadian Rogers ini– adalah (the self), yang terbentuk melalui atau karena pengalaman-pengalaman, baik datang yang dari luar diri individu yang bersangkutan maupun yang datang dari dalam dirinya.
2.      Ada dua macam bentuk kepribadian (the self), yaitu diri yang ideal (the ideal self) dan diri yang actual (the actual self). Diri yang ideal adalah diri yang ia bayangkan, yang ia tangkap, yang ia sendiri atau ia hayati sebagai “saya/ku”. Sedangkan diri yang actual adalah diri yang dipandang oleh/dari sudut orang lain sebagai “ia/dia” atau “nya”.
3.      Kepribadian yang terintegrasi (well adjusted) adalah kepribadian yang konsisten antara diri yang ideal dengan diri yang actual. Sedangkan kepribadian yang disintegrasi (maladjusted) adalah kepribadian yang tidak konsisten antara diri yang ideal dengan diri yang actual; diri subyektif tidak sesuai dengan diri obyektif.
4.      Pengubahan kepribadian yang salah suai agar menjadi kepribadian yang well adjusted (kepribadian yang terpadu) hanya dapat dilakukan dengan jalan mengubah gambaran diri yang ideal itu supaya konsisten/sesua dengan diri yang actual.
5.      Peranan dan kecenderungan kepribadian ialah mempribadikan diri dalam bentuk perwujudan diri, pemeliharaan diri, dan perluasan diri.”

C.      PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN
Menurut Prayitno (1998 : 61), perkembangan kepribadian meliputi :
1.      Organismic Valuing Process (OVP)
Proses penilaian yang terjadi sejak bayi dan berlangsung terus-menerus , yaitu :
a.      Hal-hal yang dipersepsi tidak memenuhi kebutuhan dianggap sebagai sesuatu yang negatif.
b.      Hal-hal yang dipersepsi memenuhi kebutuhan dianggap sebagai sesuatu yang positif.




2.      Positive Regard From Others (PRO)
Proses mengadopsi nilai-nilai dari orang lain. Selanjutnya, menilai diri sendiri berdasarkan penilaian orang lain.

3.      Self Regard (SRG)
Pandangan terhadap diri sendiri didasarkan pada persepsinya atas penilaian orang lain terhadap dirinya. Dalam hal ini individu menilai tingkah lakunya sendiri berdasarkan penilaian orang lain, tanpa peduli apakah menurut diri sendiri tingkah laku itu baik atau buruk. Self Regard ini memaksakan nilai-nilai dari orang lain terhadap self.

4.      Condition of Worth (COW)
Kondisi ini menunjukkan individu tidak mampu menilai diri sendiri dengan kaca mata positif, kecuali berdasarkan nilai-nilai yang dipaksakan itu, tidak peduli hal itu menyenangkan atau tidak. Bahkan dalam kondisi seperti itu individu dapat menilai sesuatu sebagai positif, padahal hal itu tidak menyenangkan bagi dirinya, dan menilai negatif, padahal menyenangkan.

D.     PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN SALAH SUAI
Adanya ketidakseimbangan antara pengalaman organismik dan self yang menyebabkan individu merasa dirinya rapuh dan mengalami salah suai. Menurut Prayitno (1998 : 62) karakteristik pribadi salah suai meliputi :
1.      Estrangement, yaitu membenarkan apa yang sesungguhnya oleh diri sendiri dirasakan tidak mengenakkan.
2.      Incongruity in behavior, yaitu ketidaksesuaian tingkah laku karena COW yang akan menimbulkan kecemasan.
3.      Kecemasan, yaitu kondisi yang ditimbulkan oleh adanya ancaman terhadap kesadaran tentang diri sendiri.
4.      Defense mechanism (DM), yaitu tindakan yang diambil oleh individu agar tampak konsisten terhadap struktur self (yang salah itu).

Selain karakteristik pribadi salah suai, gejala tingkah laku salah suai juga dikemukakan oleh Prayitno (1998 : 62), yaitu :
1.      Kecemasan atau ketegangan terus-menerus
2.      Tingkah laku yang rigid (tidak luwes)
3.      Menolak situasi baru
4.      Salah dalam memperkirakan
5.      Menolak untuk menyadari pengalaman-pengalamannya sendiri
6.      Tingkah lakunya tidak terduga
7.      Sering tidak rasional
8.      Tidak mampu mengantrol dirinya sendiri.

E.      TUJUAN KONSELING DAN PROSES KONSELING
1.      Tujuan Konseling
Menurut Taufik (2009 : 131), tujuan konseling adalah menciptakan suasana yang kondusif bagi klien untuk eksplorasi diri sehingga dapat mengetahui hambatan pertumbuhannya, yang pada giliran berikutnya klien dapat mengembangkan aspek diri yang sebelumnya terganggu. Dalam proses pemberian bantuan, yang menjadi penekanan perhatian adalah pada individunya itu sendiri, bukan pada pemecahan masalahnya saja, tetapi diharapkan adanya pertumbuhan dan perkembangan pada diri klien setelah proses konseling selesai.

Taufik (2009 : 132) menjelaskan dengan adanya pertumbuhan dan pengembangan pada diri klien, diharapkan :
a.      Terjadi keseimbangan dalam diri klien, sehingga klien lebih terbuka pada pengalamannya.
b.      Lebih realistis, obyektif, dan persepsinya lebih luas, sehingga ideal self-nya lebih realistis dan seimbang dengan self-nya, dengan demikian ketegangan dapat dikurangi.
c.       Sebagai konsekuensi dari perubahan pada poin a dan b, akan tumbuh rasa percaya diri (positif self regard-nya meningkat), mampu mengevaluasi diri, sehingga menjadi pribadi yang utuh, dapat menerima diri sendiri sebagaimana adanya dengan segala kekurangan dan kelebihannya, dapat menerima orang lain dan lingkungannya, lebih kreatif, dapat menentukan tujuan hidupnya, mandiri, dan bertanggung jawab.

2.      Proses Konseling
Konseling self atau client-centered memusatkan perhatian pada pengalaman individual, sehingga menurut Taufik (2009 : 132) konseling berupaya meminimalkan rasa diri terancam dan memaksimalkan dan menompang eksplorasi diri, memanfaatkan potensi individu untuk menilai pengalamannya, serta menumbuhkan perasaan untuk memacu pada pertumbuhan.
Melalui penerimaan terhadap klien, menurut Mohd. Surya (2003 : 52) konselor membantunya untuk menyatakan, mengkaji dan memadukan pengalaman-pengalaman sebelumnya ke dalam konsep diri. Dari redefinisi, pengalaman, individu mencapai penerimaan dari dan menerima orang lain dan menjadi orang yang lebih berkembang penuh (fully functioning).

Taufik (2009 : 133) menjelaskan bahwa teknik yang digunakan adalah interpersonal relations dengan interviu (wawancara) sebagai alat utama sehingga terjadi hubungan timbal balik, saling menerima, saling memberikan informasi, dan hubungan terjalin sampai final. Disamping interviu juga digunakan terapi permainan dan terapi kelompok, baik langsung maupun tidak langsung.

Proses konseling self mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :
a.      Klien datang sendiri kepada konselor untuk mendapatkan bantuan,
b.      Penentuan situasi dan kondisi yang cocok untuk suasana pemberian bantuan antara konselor dan klien,
c.       Konselor menerima, mendengar, mengenal, dan memperjelas perasaan negatif yang ada pada diri klien,
d.      Konselor memberikan kebebasan kepada klien untuk mengungkapkan perasaannya atau masalahnya,
e.      Apabila perasaan negative tersebut telah dinyatakan seluruhnya, secara berangsur-angsur akan timbul perasaan positif,
f.        Konselor menerima, mengenal, dan memperjelas perasaan positif klien,
g.      Pada diri klien tumbuh pemahaman tentang diri sendiri, dan mengetahui apa yang harus diperbuat untuk memenuhi kebutuhannya,
h.      Timbul inisiatif pada diri klien untuk melakukan perbuatan yang positif,
i.        Adanya perkembangan lebih lanjut di dalam klien tentang pemahaman terhadap diri sendiri,
j.        Timbul perkembangan tindakan yang positif dan integratif  pada diri klien,
k.       Klien secara berangsur-angsur merasa tidak membutuhkan bantuan lagi.

F.       SITUASI KONSELING
Agar konseling self berhasil, Rogers (dalam Mohd. Surya, 2003 : 55) mengemukakan persyaratan-persyaratan hubungan antara klien dengan konselor, yaitu :
  1. Secara negatif, jangan merupakan :
a.      Hubungan yang didasarkan atasa rasa kasih sayang yang mendalam seperti hubungan anak dengan orang tua.
b.      Hubungan sesama kawan yang sama tingkatannya.
c.       Hubungan guru dengan murid, yang satu berkedudukan superior dan yang satu lagi inferior.
d.      Hubungan dokter dengan pasien, pihak yang satu berstatus sebagai ahli yang mempunyai otoritas, sedang pihak yang lainnya harus menerima dan menuruti apa yang dinasehatkan/dianjurkan.
e.      Hubungan teman sekerja, teman sejawat.
f.        Hubungan antara pimpinan dengan bawahan, majikan dengan buruh.

  1. Secara positif, dirumuskan sebagai berikut :
a.      Menciptakan rapport, sehingga terbentuk keakraban, kehangatan, dan responsiveness, dan secara berangsur berkembang menjadi pertalian emosional yang mendalam.
b.      Bersifat permissif berkenaan dengan akspresi perasaan, sehingga klien mampu mengekspresikan segala dorongan dan keluhannya.
c.       Sementara terdapat kebebasan penuh pada klien untuk menyatakan segala perasaannya, ada keterbatasan waktu dalam konseling.
d.      Pertalian konseling hendaknya bebas dari tekanan atau paksaan. Waktu konseling merupakan milik klien, dan bukanlah konselor.

G.     KEKUATAN DAN KELEMAHAN KONSELING SELF
Mohd. Surya (2003 : 56) menjelaskan beberapa kritik terhadap konseling yang berpusat pada klien, yaitu :
1.      Terlalu menekankan pada aspek afektif, emosional, dan perasaan sebagai penentu perilaku, tetapi melupakan faktor intelektif, kognitif, dan rasional.
2.      Penggunaan informasi untuk membantu klien, tidak sesuai dengan teori.
3.      Tujuan untuk setiap klien adalah memaksimalkan diri, dirasa terlalu luas, umum, dan longgar sehingga sulit untuk menilai setiap individu.
4.      Tujuan ditetapkan oleh klien, tetapi tujuan konseling kadang-kadang dibuat tergantung lokasi konselor dan klien.
5.      Meskipun terbukti bahwa konseling ini diakui efektif, tapi bukti-bukti tidak cukup sistematik dan lengkap terutama yang berkaitan dengan klien yang kecil tanggung jawabnya.
6.      Sulit bagi konselor untuk benar-benar bersifat netral dalam situasi hubungan interpersonal.

Selain menjelaskan tentang kelemahan konseling ini, Mohd. Surya (2003 : 57) juga menjelaskan beberapa kontribusi yang diberikan, antara lain :
1.      Pemusatan pada klien dan bukan pada konselor dalam konseling.
2.      Indentifikasi dan penekanan hubungan konseling sebagai wahana utama dalam mengubah kepribadian.
3.      Lebih menekankan pada sikap konselor daripada teknik.
4.      Memberikan kemungkinan untuk melakukan penelitian dan penemuan kuantitatif.
5.      Penekanan emosi, perasaan, dan afektif dalam konseling.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar